Simpang Jalan Menuju Allah

Terdapat banyak persimpangan dalam perjalanan menuju Allah. Mulai dari jasmani, nafsani, hingga ruhani. Persimpangan tersebut dapat memperdaya para pejalan, bahkan bisa menjadi fatal ketika seseorang salah dalam menentukan arah.

ALKISAH, seorang pemuda tiba-tiba berteriak kepada seorang tua pendayung rakit yang biasa membawa penumpang menyeberang sungai. "Awas! Di bawah ada kayu besar melintang, kalau nabrak kita akan terbalik." Orang tua tersebut menjawab sambil tersenyum, "Itu hanya bayangan di dalam air, sebenarnya kayu tersebut ada di atas." Mendengar jawaban tersebut sang pemuda langsung mendongak, dan benar, ia melihat sebatang kayu besar melintang di sana. Ilustrasi tadi merupakan gambaran bagi orang yang sedang berjalan menuju Allah. Semua yang ada di dunia, pada hakikatnya adalah bayangan yang dapat mempengaruhi konsentrasi. Tak menutup kemungkinan, bayangan bisa menghentikan perjalanan. Itu sebabnya seseorang yang berjalan menuju Allah, sebaiknya memiliki pemandu (baca: Syekh Mursyid).

Ada banyak penjelasan yang dapat membantu seseorang menghindari segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, ketika berjalan menuju Allah. Dalam kitab Al Jawahir Waddurar, Syaikh Abdul Wahab Asa Sya'rani qaddasallahu sirruhu, menyebutkan, Syaikh Muhyiddin Ibn 'Arabi berpendapat, "Semua akwan (berbagai keadaan di alam ini) pada dasarnya adalah dinding penghalang dalam memandang Al Haqq (Allah), meski penutup akwan itu dibuat oleh-Nya.”

Empat Mazhab
Akwan, terkadang hanyalah bayang-bayang yang menjelma fatamorgana. Maka ketika seseorang telah mampu membuka hijab atau penghalang semacam akwan itu, niscaya dia akan melihat bahwa yang menjadi pelaku perbuatan pada dasarnya hanya Allah. Sebaliknya, jika seseorang tidak mampu membukanya, ia akan terdinding atau terhalangi.

Terdapat empat mazhab yang berkembang di masyarakat tentang perbuatan seorang hamba.
Mazhab pertama, adalah mazhab yang dianut oleh orang-orang yang tidak mengetahui hakikat perbuatan. Mereka berpandangan bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh hamba berada di bawah kendali dan kekuasaan hamba itu sendiri. Orang-orang yang menganut pemikiran seperti ini disebut kalangan mu'tazilah yang bidah, lagi fasik.

Mazhab kedua merupakan kebalikan dari mazhab pertama. Mazhab ini menganut dan meyakini bahwa hanya Tuhan semata yang memiliki segala perbuatan di alam semesta ini. Golongan ini sebenarnya mengetahui hakikat perbuatan, hanya saja mereka tidak menyandarkan perbuatan Tuhan kepada hamba yang menanggung dosa dan pahala. Sehingga dari segi syariat, golongan ini jelas salah. Keyakinannya bahkan masuk kategori zindik.
Golongan ini juga disebut dan dikenal di kalangan orang-orang hakikat sebagai kaum Jabariyyah.

Mazhab ketiga adalah yang dianut oleh orang-orang yang sebenarnya mengetahui hakikat perbuatan, namun tetap masih memiliki kelemahan. Mereka meyakini bahwa segala perbuatan berasal dari Allah, sedangkan manusia dalam menjalani kehidupannya dianggap hanya memiliki usaha dan ikhtiar, tempat berlangsungnya hukum syariat. Mereka juga benar ketika meyakini bahwa usaha dan ikhtiar tersebut tidak mampu menciptakan perbuatan baru, karena perbuatan pada dasarnya hanya milik Allah. Mazhab yang dianut oleh kalangan asy'ariyah ini, karena itu menjadi keyakinan yang dapat diterima kebenarannya. Namun golongan ini masih tertutupi dinding penghalang dalam menyaksikan wahdatul af'al (keesaan memandang dalam segala perbuatan). Keyakinannya muncul di atas konsepsi yang tertutup ( ghisawah ), sehingga mereka tidak bisa melihat hal-hal yang batiniah.

Mazhab keempat adalah Mazhab ahlul kasyf, dan sering disebut mazhab yang dianut oleh orang-orang yang mampu menyingkap dinding penghalang. Karena mereka mampu menyingkap dinding, maka mereka dianggap sanggup memandang wahdatul af'al selamanya. Karena sudah tak ada lagi penghalang, mereka juga mampu melakukan musyahadah dengan Tuhan dan karena itu memandang bahwa semua perbuatan berasal dari Tuhan sementara manusia hanya menjalani. Pandangan ini diumpamakan seorang penulis dengan alat tulisnya (baca: pena). Ketika seorang penulis menggerakkan pena, maka lahirlah rangkaian huruf dan kata-kata. Pada dasarnya pena tidak memiliki kekuasaan untuk menciptakan huruf maupun kata, melainkan karena digerakkan oleh tangan sang penulis. Demikian juga manusia, hanya menjadi alat bagi lahirnya perbuatan-perbuatan yang direncanakan oleh Tuhan. Syekh 'Abdul Wahhab Asy Sya'rani menyebutkan bahwa Syekh Muhyiddin Ibn 'Arabi ra. menjelaskan di dalam Bab 422 dari Futuhatul Makiyah. Katanya, “Segala amal perbuatan itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah berasal dari Allah SWT. Hanya saja, perbuatan-perbuatan itu kemudian disandarkan kepada kita sebagai hamba-Nya, yang berarti bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah untuk kita sendiri.” Singkat kata, manusia dipersiapkan oleh Allah sebagai makhluk yang akan menerima siksa ataupun pahala. Melalui perbuatan-perbuatan itulah, Allah sesungguhnya ingin menguji manusia. Allah ingin melihat, siapakah di antara hamba-hambaNya yang akan masuk ke dalam
hasrat ihsan. Itulah hasrat yang jika seseorang telah masuk ke dalamnya, ia akan mampu menangkis semua penutup yang menghalangi perjalanannya, yang pada akhirnya ia akan bermusyahadah alias memandang dengan Allah.

Ketika seseorang telah bermusyahadah, ia akan selalu takut untuk menambatkan semua perbuatannya dan juga perbuatan-perbuatan makhluk lainnya dengan diri mereka sendiri. Karena ada kesadaran, pengetahuan dan pengakuan sepenuhnya, bahwa segala perbuatan makhluk, muncul dan berasal dari Allah.

Tidak ada komentar: