Simbol-Simbol Menuju Allah

Seluruh rukun haji, sesungguhnya hanyalah perlambang tentang kemahakuasaan dan kemahatunggalan Tuhan. Sementara manusia yang menjalankan rukun haji berada dalam posisi tak berdaya apa-apa.

ADA beberapa ritual di dalam pelaksanaan haji yang harus dilakukan para jamaah. Meski sering dijelaskan tentang rukun-rukun haji pada saat menjelang musim haji, tak semua orang paham makna ritual di dalam haji. Kenapa, bagaimana, dan apa saja ritual haji yang wajib dan sunnah dilakukan. ADA beberapa ritual di dalam pelaksanaan haji yang harus dilakukan para jamaah. Meski sering dijelaskan tentang rukun-rukun haji pada saat menjelang musim haji, tak semua orang paham makna ritual di dalam haji. Kenapa, bagaimana, dan apa saja ritual haji yang wajib dan sunnah dilakukan, inilah sebagian kecil penjelasannya.

Miqat
Secara hakikat miqat adalah titik awal kesadaran seorang hamba menuju Allah dan berharap perjumpaan dengan-Nya. Ritual ini dapat dimulai kapan saja dan di mana saja tanpa harus menunggu waktu dan tempat. Siapapun yang sudah memiliki kesadaran menuju Allah, maka saat itulah ia sudah dapat melakukan miqatnya. Bagi yang kaya, bisa menjadikan waktu kayanya sebagai miqat; bagi pejabat saat menjabat bisa dijadikan sebagai miqat; bagi orang yang bekerja, saat bekerjanya; bagi yang miskin di saat miskinnya; bagi yang muda ketika mudanya; dan sebagainya.

Segerakan miqat. Karena jikapun belum sampai kepada Allah, lalu dia meninggal dunia dengan miqat-nya maka dia termasuk mati syahid. Melaksanakan miqat karena itu jangan pernah ditunda. Misalnya menunggu kalau sudah tua, kalau sudah kaya, kalau sudah bekerja, kalau sudah punya istri, kalau sudah menjadi pejabat, dan sebagainya. Karena menunda miqat adalah pertanda bagi hati yang berhenti bergerak menuju Allah, isyarat bagi hati yang tertutup mendapat panggilan Allah.

Apabila seorang hamba bersungguh-sungguh berjalan menuju kepada Allah, maka Allah akan bersungguh-sungguh pula menjemputnya. Respon Allah terhadap hamba-hamba yang berjalan menuju kepada-Nya lebih cepat dan lebih banyak dari respon apapun. Dalam hadis qudsy Rasulullah Saw. menjelasakan:

"Sesungguhnya Allah berfirman: apabila hambaku ingin menjumpai-Ku dengan sejengkal, maka
Aku akan menjumpainya dengan sehasta, dan apabila hamba-Ku ingin menjumpai-Ku dengan
sehasta maka Aku akan menemuinya dengan sedepa, dan apabila hamba-Ku menemui-Ku
dengan sedepa maka Aku lebih cepat dari itu." (HR. Muslim)

Kepada orang-orang yang sudah melangkahkan kaki menuju Allah, maka Allah telah menjamin kepastian untuk menjumpai mereka. Perjumpaan tersebut bisa jadi ketika masih hidup, atau menjelang sakaratul maut, atau di akhirat nanti. Kepastian perjumpaan dengan Allah telah dijelaskan dalam Al Quran:

"Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang." (qs:Al Ankabut: 5)

Sungguh merugi orang-orang yang menunda miqat menuju Allah, lalu ia meregang ajal sebelum melaksanakan miqatnya. Karena ketika ajal sudah datang, maka pintu miqat pun sudah tertutup. Dalam Al Quran telah dijelaskan:

"Sungguh telah merugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah; sehingga ketika kematian datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: "Alangkah besar penyesalan kami atas kelalaian kami (ketika kematian datang kami belum menuju Allah)." (Al-An'am: 31)

Ihram
Ihram adalah simbol bagi persamaan dan keadilan, karena tak ada manusia yang lebih unggul atas manusia lainnya. Ketika ihram, akan terasa bahwa keunggulan hanya milik Allah, dan semua manusia sesungguhnya tidak berdaya, hina, kecil dan tak berarti.

Ihram hanyalah kepingan cermin yang sangat kecil dari apa yang akan dihadapi manusia pada saat yaumil mahsar. Ketika semua manusia berada dalam posisi yang sama, tak berdaya dan tertunduk menunggu.

Pada ihram, tak ada yang berbeda antara manusia satu dengan manusia lainnya., karena semua orang harus melepas baju perbedaan. Latar belakang, negara, suku, budaya, status sosial, warna kulit, semua harus dilepas dan digantikan dengan selembar kain putih tanpa jahitan. Itulah saat yang menghilangkan sekat antara si kaya dan si miskin, pejabat dan karyawan, si putih dan si hitam, wanita dan pria, guru dan murid, dan sebagainya. Semua sama dalam balutan kain putih. Kalau harus ada yang membedakan mereka di hadapan Allah, tak lain hanya derajat ketaqwaan mereka. Dan setiap individu memiliki peluang yang sama dalam meraih taqwa. Tak ada diskriminasi, apalagi ketidakadilan. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Al Quran.

"Sesungguhnya paling mulya di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara 
kamu." (Al Hujaraat: 13)

Ihram adalah juga sebagai simbol kesucian karena kain yang digunakan adalah berwarna putih. Maknanya, mereka yang melakukan ihram harus bisa menyucikan baju jiwanya yang telah dikotori sifat serakah, sombong, angkuh, egois, ambisi, iri dengki, dan semua sifat dan sikap yang jauh dari nilai ilahiah. Tak ada yang berarti ketika karena orang yang ihram ibarat mayat dibungkus kain putih. Semua kenikmatan kehidupan, harta benda yang melimpah, anak, istri yang cantik tidak akan mampu memberi pertolongan apa-apa. Dia pada akhirnya akan menghadap sendiri kepada Allah tanpa ditemani siapapun kecuali amalnya.
Ihram kecuali sebagai simbol keadilan dan persamaan, ia adalah juga reformasi paradigma hidup yang menuhankan materi dan nafsu dengan tauhid yang mengesakan Allah. Ia adalah upaya pembebasan diri dari belenggu hawa nafsu dan diskriminatif. Merugilah orang-orang yang mengenakan baju putih, namun hatinya penuh dengan tipu daya, mencari pembenaran, dan manipulatif.

Muharramat
Inilah lambang rambu-rambu perjalanan ihram yang berfungsi sebagai peringatan yang tak boleh dilanggar. Misalnya bagi orang yang ihram tidak diperbolehkan memakai parfum apapun, rambut tidak boleh dicukur, kuku tidak boleh dipotong, tidak boleh melangsungkan akad nikah, tidak diperkenankan bersetubuh, dilarang menzalimi siapapun dan sebagainya. Sebab semua itu adalah simbol kehidupan duniawi yang penuh dengan nafsu syahwat, maka harus dihindari karena hal itu dapat mengotori hati dan mengganggu kekhusuan beribadah.

Muharramat sekaligus juga bermakna sebagai simbol kepatuhan manusia terhadap Allah. Pertanda bagi ada tidaknya akhlak, lambang bagi entitas kesalihan yang tidak menindas, tak menzalimi dan tidak anarkis terhadap semua makhluk atas nama Tuhan.

Wuquf
Di antara ritual haji yang lain, wuquf adalah waktu ketika manusia membutuhkan untuk introspeksi, memerlukan menilai diri sendiri, sebelum berujung pada pertaubatan.

Wuquf adalah media tepat untuk merenung dan mempertajam spiritual. Karena di sanalah, di arafah, tempat wuquf berlangsung, Nabi Ibrahim as., Nabi Ismail as., dan Nabi Muhammad Saw. pernah menghabiskan waktu-waktu malamnya untuk bertafakur mencari kebenaran yang hakiki. Semua manusia yang datang ke arafah untuk wuquf mestinya tertunduk diam dan membisu. Sama seperti ketika para nabi, dulu melakukan hal yang sama di tempat itu: Berdialog dengan Tuhan di malam yang sepi, hanya berteman bintang-bintang yang betebaran menghiasi langit yang seolah tersenyum mengucapkan salam.

Ketika wuquf, di malam yang semakin larut dan senyap, semua orang semestinya terlelap dalam keasyikan bermunajat kepada Allah. Seolah merasakan kehangatan pelukan Allah hingga terbuka cakrawala spiritual tentang hakikat diri mereka dan Tuhannya. Gema takbir, tahlil dan tahmid terus membahana hingga membubung dan memenuhi seluruh angkasa alam semesta. Ketika itu, gema zikir menyeruak memenuhi lorong-lorong langit hingga menembus arsyur rahman, singgasana sang paling pengasih. Zikir bukan sebatas bergema di bibir tapi akal dan hatipun bahkan sir ikut berzikir. Bibir yang berzikir dapat mengusir dominasi syetan dalam diri, akal yang berzikir akan mendapatkan pencerahan spiritual, hati yang berzikir akan merasakan kenikmatan ruhani, sir yang berzikir akan merasakan keesaan dalam rasa. Tujuan zikir karena itu jangan dibelokkan untuk mencari ketenaran dan popularitas duniawi. Jangan pula zikir dijadikan sebagai mesin pencetak uang. Hindarkan menjadikan zikir sebagai alat untuk mendekati kekuasan. Jauhkan zikir dari kepentingan berselingkuh dengan selain Allah. Karena zikir yang tidak untuk dan karena Allah, hanya akan mengundang ribuan syetan untuk menghijabi sehingga akan semakin bertambah jauh dari sisi Allah.

Tawaf
Ke manapun manusia pergi hanya kepada Allah mereka akan kembali. Ketika berputar-putar sambil berlari kecil mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, manusia sesungguhnya hanya digambarkan berada dalam posisi akan kembali kepada Allah. Ritual mengitari Ka’bah yang disebut tawaf karena itu adalah pertanda bagi manusia agar meyakini sebaik-baik tempat kembali hanyalah Allah. Bukan Ka’bah. Tak juga tempat di sekitarnya atau di wilayah lain.

Ka'bah hanyalah bangunan tua. Keberadaannya hanya pertanda kemahatunggalan Tuhan. Ketika tawaf, Ka’bah tidak lebih hanya seonggok batu di tengah sungai yang menderas dengan air tumpah ruah. Dalam haji, Ka'bah menjadi titik pusara dari lautan manusia dari penjuru dunia, seperti matahari yang menjadi pusat sistem tata surya dan manusia adalah bintang-bintang yang beredar mengelilingi orbit. Lebih dari sekadar bangunan tua dan sentral utama atau kiblat seluruh umat Islam di dunia, Ka'bah melambangkan keabadian Allah. Ia adalah titik untuk bercermin, bahwa setiap segala di dunia akan kembali kepada Allah, puncak akhir dari seluruh pencarian.

Sai
Tak ada yang hak untuk dicari kecuali Allah. Harta, kedudukan, dan seluruh ambisi duniawi bukanlah sesuatu yang pantas dicari. Ia tak lebih dari fatamorgana yang bisa menimbulkan kecewa dan putus asa, ketika tak sanggup mencapai atau menemukannya. Kenapa? Karena hak untuk dicari hanya milik Allah. Karena itu berserahlah kepada Allah. Ketika manusia pasrah kepada Allah, maka Allah akan memberi jalan keluar yang terbaik menurut Allah. Tawakal kepada Allah adalah kunci utama menghadapi persoalan hidup. Dan sai di dalam haji adalah simbol pencarian dan tawakal kepada Allah. Ia diawali, ketika Siti Hajar sedang kehabisan air untuk diminum di tengah hamparan pasir tandus. Istri Ibrahim itu kebingungan berlari-lari ke sana ke mari mencari sumber mata air, namun tak satu pun sumber yang ditemukan. Di saat Hajar kelelahan dan ingin kembali menemui Ismail, anaknya yang baru dilahirkan, Hajar terperanjat melihat di bekas injakan kaki Ismail mengalir air yang tidak berhenti-henti.

Hajar Aswad
Dalam sebuah hadis telah dijelaskan bahwa Hajar Aswad adalah batu yang berasal dari surga. Hajar Aswad diturunkan di muka bumi sebagai simbol perdamaian masyarakat dunia. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. yang berhasil mendamaikan pertikaian antar suku-suku bangsa Arab yang memperebutkan pemindah Hajar Aswad. Namun Muhammad dapat memberikan solusi dengan adil dan bijak sehingga dijuluki "Al Amin".
Andaikata tatkala itu bukan Muhammad niscaya akan terjadi pertikaian dan pertumpahan darah antar suku untuk saling berebut. Kaum muslimin seharusnya dapat belajar dari peristiwa perebutan Hajar Aswad di zaman Rasulullah, sehingga dalam menyelesaikan perbedaan tidak menggunakan kekerasan melainkan dengan kembali kepada Al Quran dan Al Hadits. Nabi Muhammad Saw. pernah mencium Hajar Aswad. Tujuannya adalah sebagai penghormatan bukan pengultusan. Karena Hajar Aswad sesuai namanya, hanya sebongkah batu hitam ciptaan Allah dan tidak memiliki daya dan kekuatan apapun. Siapa pun yang mencium Hajar Aswad lalu mengultuskan, menginginkan keberkahan dan menganggap batu itu memiliki kekuatan magis, ia sudah tergelincir pada syirik, dosa yang tak terampuni. Keyakinan yang demikian itu tidak dibenarkan menurut Islam. Dalam hal ini sahabat Umar ra. pernah berkata, "Andai saja Rasulullah Saw. tidak menciumnya, niscaya aku tidak sudi menciumnya, karena Hajar Aswad adalah batu biasa yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa."

Makam Ibrahim
Ibrahim sebagai simbol pemberontakan atas pembodohan sistem dalam masyarakat. Ia berhasil merubah paganisme menjadi monoteisme, irasional menjadi rasional. Ibrahim adalah simbol ketegaran hati dan jiwa dalam memegang prinsip kebenaran sekalipun harus dibakar api oleh penguasa. Ia adalah lambang totalitas ketaatan kepada Tuhan sekalipun harus berpisah dengan anak dan istri tercinta bahkan harus menyembelih anaknya.

Jauh sebelum muncul sebagai apa yang saat ini disebut sebagai bapak filsafat seperti Plato, Socrates dan sebagainya, Ibrahim sudah ribuan tahun sebelumnya meletakkan dasar filsafat. Ia merombak tatanan pagan menjadi monoteis. Ibrahim karena itu mestinya menjadi inspirasi untuk melakukan perubahan dan reformasi bagi manusia yang berhaji, kelak di kampung masing-masing.

Hijir Ismail
Selain Ibrahim, Ismail adalah juga simbol cinta dan kepasrahan totalitas kepada Allah. Ia adalah sahabat bagi Ibrahim, sang Bapak. Keduanya bekerja sama membangun Ka'bah yang akhirnya menjadi kiblat umat Islam seluruh dunia. Ismail sebagai simbol cinta karena dirinya rela berkorban disembelih sang bapak demi kepatuhan dan cinta kepada Tuhan.

Pembimbing (Mursyid)
Di dalam rombongan orang yang pergi haji, selalu ada yang menjadi pemimpin. Sekalipun sudah ada buku panduan haji, misalnya, kalau tidak ada pembimbing maka dapat dipastikan seorang jamaah akan tersesat. Sebagai pemimpin atau pembimbing rombongan haji, maka ia harus mempunyai pengalaman dan profesional dalam pelaksanaan haji. Bagaimana mungkin dapat melaksanakan haji dengan benar kalau pembimbingnya tidak mempunyai pengalaman?

Orang yang akan menuju Allah demikian juga. Apabila tak mempunyai pembimbing yang sudah pernah ma'rifah yang disebut syekh mursyid maka dapat dipastikan akan tersesat pula. Perjalanan menuju Allah adalah perjalanan spiritual yang bersifat metafisik dengan semua persoalan dan tingkat kesulitan yang tak terjangkau akal. Karena itu, wajib hukumnya bagi orang yang menuju Allah harus mempunyai pembimbing yang profesional - syekh mursyid- sehingga terhindar dari kesesatan dan sampai pada tujuan.


Ka’bah, Malaikat dan Peluru Lontar
KA’BAH boleh jadi termasuk bangunan tua sisa-sisa masa lampau yang masih tegak berdiri hingga sekarang. Bahkan mungkin bangunan paling tua di muka bumi, sesuai namanya yang juga disebut baitul 'atiq alias rumah tua. Sebuah literatur mengartikan istilah baitul 'atiq sebagai kemerdekaan; simbol terbebasnya manusia dari semua bentuk keberhalaan ( syirik ) yang meliputi manusia.

Sebuah riwayat menyebutkan Ka’bah dibangun sejak zaman Nabi Adam. Riwayat lain berpendapat, Ka’bah dibangun jauh sebelum manusia diciptakan. Pendapat ini mengacu pada Al Quran surat Ali-Imran ayat 96 yang menjelaskan tentang Ka’bah. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

Baitullah yang disebut dalam ayat itu, bisa dipahami sebagai letak yang telah ada dalam ilmu Allah sejak penciptaan langit dan bumi. Namun dari semua cerita tentang Ka’bah, Ka’bah dibangun pada zaman Nabi Ibrahim, ketika berusia 100 tahun—kendati riwayat Bani Israil menyebutkan Ka’bah telah dibangun sebelum masa Ibrahim. Dugaan tadi, berdasarkan Al Quran surat Al-Hajj ayat 26 yang kurang lebih bisa diterjemahkan, "Ingatlah, ketika Kami menyediakan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah......." Juga pada Al-Baqarah ayat 127 juga disebutkan, "Ingatlah, ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah".

Bahan dasar yang digunakan adalah batu-batu besar berwarna kebiru-biruan yang diperoleh dari bukit-bukit di sekitar Mekkah. Tinggi seluruh dindingnya adalah 15 m dengan lebar dinding yang berlainan untuk keempat sisinya. Dinding utara misalnya, memiliki lebar 10,02 meter, sementara dinding di bagian selatan lebih lebar dari dinding utara sekitar 11 sentimeter. Begitu pula dinding barat yang berukuran 11,58 meter, lebih lebar dari dinding di bagian timur yang hanya 10,22 meter. Kecuali Allah, tak ada yang tahu persis kenapa Ka’bah yang dari kejauhan terlihat seperti kubus persegi, memiliki lebar yang berbeda pada keempat dindingnya. Namun beberapa ahli sejarah menduga, ketika dibangun oleh Ibrahim, batu-batuan yang menjadi dasarnya dibiarkan dalam bentuk aslinya. Karena pasti batu-batu itu tak memiliki ukuran yang sama, maka jadilah Ka’bah yang asimetris, seperti yang tampak dalam wujud sekarang.

Tawaf Para Malaikat

Dalam buku Sejarah Mekkah, Dr. Muhammad Ilyas Abduh mengungkapkan bahwa Ka’bah mempunyai tiga tiang penyangga utama dengan jarak antar tiang 2,35 meter. Atapnya dari kayu dengan diameter 44 sentimeter untuk masing-masing. Di dalamnya terdapat mihrab yang dapat digunakan untuk shalat seperti tertuang dalam hadis yang menyebutkan bahwa nabi pernah shalat di dalam mihrab Ka’bah. Pada saat membangun Ka’bah, oleh Ibrahim pintu Ka’bah dibuat sejajar dengan tanah, dan tidak pula dibuat daun pintu. Daun pintu baru dibuat kemudian oleh Tubba` Al Humairi, di mana pintu Ka’bah ditinggikan dari permukaan tanah. Bangunan yang dibuat oleh Nabi Ibrahim itulah yang kemudian selalu dicontoh oleh generasi berikutnya ketika merenovasi.

Tercatat ada beberapa renovasi pada Ka’bah. Bila bersandar pada keterangan yang ditulis HM Iwan Gayo dalam buku Pintu Haji dan Umrah, ada sepuluh generasi yang melakukan perbaikan. Dalam catatan lain, pemugaran Ka’bah dilakukan sebanyak dua belas kali generasi. Pemugar pertama adalah generasi malaikat. Kejadiannya konon dua ribu tahun sebelum Nabi Adam diciptakan. Menurut yang punya cerita, para malaikat di langit sudah biasa bertawaf pada sebuah bangunan yang mirip Ka’bah bernama baitul makmur, di langit. Setiap hari mereka bertawaf (mengelilingi) baitul makmur dalam jumlah yang besar, yakni mencapai 70 ribuan malaikat. Atas izin Allah, para malaikat lalu diperintah mendirikan bangunan yang letaknya persis di
bawah baitul makmur yang belakangan disebut dengan Ka’bah. Dengan dibangunnya Ka’bah di bumi, maka malaikat-malaikat bertawaf mengelilingi Ka’bah demi mendapatkan rahmat dan ampunan Allah sebagaimana tawafnya para malaikat di baitul makmur.
 
Generasi kedua adalah generasi Nabi Adam as. Adam melakukan renovasi ketika dirinya dipertemukan dengan Hawa oleh Allah di Padang Arafah. Generasi selanjutnya adalah Nabi Syits bin Adam. Nabi Nuh disebut-sebut juga pernah melakukan pembenahan Ka’bah pasca bencana banjir hebat, meski pendapat ini sangat lemah karena alasan jarak geografis Nabi Nuh yang dianggap tidak hidup di sekitar Mekkah.

Generasi berikutnya adalah generasi Ibrahim dan Ismail. Renovasi yang dilakukan Ibrahim dan Ismail termasuk perubahan besar-besaran, karena sejak itulah di Ka’bah ada dua pintu. Renovasi selanjutnya dilakukan Suku Amaliqah yang diteruskan oleh suku Jurhum, kemudian oleh Qushai bin Kilab (satu di antara nenek moyang Nabi Muhammad), hingga renovasi generasi kedelapan yang dilakukan oleh Abdul Muthalib.

Pemugaran kesembilan dilakukan oleh kaum Quraisy, di mana Muhammad juga terlibat. Ketika pemugaran itu terjadi, Muhammad baru berusia 30 tahun, sepuluh tahun sebelum kenabian. Renovasi oleh kaum Quraisy yang ditaksir terjadi pada 600 SM, dilakukan akibat bencana banjir yang melanda Mekkah. Kali ini Kaum Quraisy meninggikan letak pintu Ka'bah atas usulan Abu Hudzaifah bin Mughirah yang mengatakan, "Wahai kaum, tinggikanlah pintu Ka'bah sehingga tidak dapat dimasuki kecuali dengan menggunakan tangga, agar tidak ada yang akan memasukinya kecuali orang yang kamu sukai. Apabila ada orang yang kamu benci mencoba memasukinya kamu dapat melemparinya sampai dia jatuh, dan ini dapat menjadi pelajaran buat yang melihatnya."

Kemudian kaum Quraisy menambahkan tinggi dari sembilan menjadi delapan belas hasta. Hampir terjadi perselisihan antar kepala suku (kabilah), ketika akan meletakkan Hajar Aswad ke Ka’bah. Namun dengan bijak Nabi Muhammad berhasil menyelesaikan ketegangan itu tanpa pertumpahan darah dan tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. Ketika Muhammad memperoleh wahyu, sesungguhnya Nabi ingin kembali merenovasi Ka’bah sebagaimana bentuk semula. Karena alasan kondisional, Nabi mengurungkan niatnya.
Peristiwa ini didokumentasikan sebuah hadis, “Andaikata kaumku bukan baru saja meninggalkan kekafiran, akan aku turunkan pintu Ka’bah dan dibuat dua pintunya serta dimasukkan Hijir Ismail ke dalam Ka’bah." Namun pada masa Abdurrahman bin Zubair memerintah daerah Hijaz, Ka’bah direhab sebagaimana keinginan Nabi Muhammad yaitu berdiri di atas fondasi Nabi Ibrahim. tapi itu tidak berlangsung lama karena terjadi peperangan dengan Abdul Malik bin Marwan, penguasa daerah Syam (Suriah,Yordania dan Lebanon sekarang) dan Palestina, Ka’bah sempat terbakar akibat tembakan peluru pelontar (sejenis bom) dari pasukan Syam. Keinginan Abdul Malik baru tercapai, ketika dia menjadi khalifah. Pemugaran Ka’bah, juga terjadi pernah direncanakan khalifah Harun Al Rasyid, Dinasti Abbasiyyah. Harun Al Rasyid berencana merenovasi kembali Ka'bah sesuai fondasi Nabi Ibrahim sebagaimana diinginkan Nabi Muhammad. Namun rencana ini dicegah Imam Malik, karena khawatir bangunan suci itu dijadikan ajang bongkar pasang para penguasa berikutnya. Alhasil, Ka'bah dibiarkan seperti pemugaran Abdul Malik bin Marwan, hingga sekarang.

Dari semua renovasi yang dilakukan, tidak ada pemugaran yang mengubah keaslian bentuk bangunan Ka’bah. Semuanya masih kelihatan sama dengan bentuk yang dibangun Ibrahim, yakni dengan dua pintu yang berada di permukaan tanah. Perubahan pada bangunan Ka’bah mulai terlihat ketika kaum Quraisy melakukan renovasi. Saat itu, karena kehabisan dana yang halal, mereka tak selesai melakukan pemugaran. Dana yang terkumpul hanya cukup untuk merehab satu pintu. Akibatnya satu pintu lagi, tak ikut dimasukkan menjadi bagian dari bangunan Ka’bah. Sebagai gantinya bekas pintu itu diberi lingkaran yang sampai sekarang tetap terlihat di salah satu sisi Ka’bah dan dikenal sebagai Hijir Ismail. Berhala Ka’bah Selama ini, Ka’bah menjadi kiblat bagi seluruh umat Islam ketika shalat. Padahal di awal-awal perintah shalat, sebenarnya kiblat mengarah ke Baitul Maqdis di Palestina. Namun Rasulullah tetap berusaha shalat dengan menghadap Ka'bah, dengan cara shalat di sebelah selatan Ka'bah sehingga menghadap ke utara. Dengan menghadap utara maka selain menghadap ke Baitul Maqdis, Nabi juga tetap menghadap Ka'bah. Ketika bersama para sahabat hijrah ke Madinah, tentu menghadap ke dua tempat yang berlawanan arah menjadi mustahil. Rasulullah lantas sering menengadahkan wajah ke langit berharap turun wahyu perihal menghadapkan shalat ke Ka'bah. Lalu turunlah ayat,

“Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah : 144)

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Ka'bah merupakan bangunan yang pertama kali didirikan di bumi untuk dijadikan tempat ibadah manusia pertama, seperti shalat atau haji, sebagai simbol pengabdian.

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, ” (Al-Hajj : 27)

Dalam sejarah, Ka’bah pernah menjadi berhala orang-orang kafir. Bukan hanya Ka’bah yang disembah, namun patung-patung besar sepert Latta, Uzza, dan Manna yang mereka puja. Namun semua itu berakhir ketika Nabi Muhammad datang membebaskan kota Mekkah ( Fathul Makkah). Seluruh berhala dan patung di dalam Ka’bah yang kala itu dituhankan sebagian kaum Quraisy, dikeluarkan Nabi Muhammad. Sisi dalam Ka’bah menjadi kosong, dan sebagai gantinya dibangun mihrab.

Ka’bah adalah kiblat, dan kiblat adalah hati, karena ia menjadi pusat. Sebagaimana hadis Nabi,
 
“Hati mu’min adalah rumah Allah (baitullah).”

Peristiwa Fathul Makkah menyadarkan kita bahwa pembebasan kota Makkah adalah pembebasan Ka’bah dari berhala-berhala. Maka bila ingin membebaskan diri kita, maka hati harus dibersihkan dari berhala berhala syirik kepada-Nya, itulah tauhid.

Tidak ada komentar: