Etika Bertauhid

Allah adalah Zat yang menjadi sumber semua perbuatan yang terjadi di alam semesta, kemudian Allah menyandarkan perbuatan tersebut pada makhluk, sebagaimana posisi hamba yang menjadi tempat persandaran untuk menerima dosa dan pahala.

APABILA seorang salik menyandarkan setiap perbuatan kepada makhluk tanpa kesadaran tauhid yang hakiki, maka penyandaran tersebut menjadi hijab dirinya dalam memandang ke-Elok-an Wujud-Nya. Memandang perbuatan yang berlaku di alam ini merupakan ujian sikap batin seorang salik. Apakah sikapnya tetap konsisten menyandarkan perbuatan itu kepada Allah? Atau bahkan sebaliknya, menyandarkan perbuatan tersebut cukup kepada makhluk saja? Jika pandangan seorang salik sudah sampai pada tatanan "hadirat Ihsan", maka pandangan tersebut dapat menembus ke titik yang menjadi sumber perbuatan, sehingga tersingkap hijab dibalik perbuatan tersebut dan dilihatnya hakikat yang berbuat. Dengan demikian, berarti sampailah pandangannya pada musyahadah, pencapaian maqam tersebut harus selalu dijaga keistiqamahannya agar tidak berpaling dari selain Allah.

Adab Memandang Tuhan
Bagi seorang salikin harus menyadari, kendati semua perbuatan berasal dari Allah, namun Allah Sendiri telah memberikan fasilitas-fasilitas dalam diri makhluk, seperti manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Allah SWT telah menganugerahkan ilmu pengetahuan, sehingga dengan ilmu pengetahuan tersebut mampu menyeleksi perbuatan yang sekiranya layak dikerjakan ataupun sebaliknya. Karena Allah tidak menyuruh seorang hamba, kecuali menyembah kepada-Nya dengan meluruskan niatnya dalam menerapkan aturan-aturan-Nya seiring amar ma'ruf nahi munkar (mengerjakan yang baik-baik dan menjauhi yang buruk-buruk). Oleh karena itu, segala perbuatan yang tercela dari tangan-tangan manusia adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri. Ini sebagai konsekuensi adab atau etika pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya:

"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri." (An Nisaa: 79).

Dalam hal ini, Syekh Yusuf Abu Dzarrah Al Mishri menyatakan: “Tidak diperkenankan mengatakan bahwa kejahatan bersumber daripada Allah kecuali pada saat pengajian (ta'lim ).” Begitu juga Syekh Ibn Hajar di dalam Syarah Arba'in, mengutip sabda Nabi Saw. pada doa Iftitah, "Wasy Syarru Laisa Ilaika" (Bermula kejahatan itu bukan ia daripadamu.) Karena itu, tidak diperkenankan menyandarkan perbuatan buruk atau jahat kepada Allah. Seperti mengumbar kata-kata: “Allah yang menjadikan anjing dan babi.” Atau "Allah sengaja menciptakan Iblis untuk menempuh kejahatan." Sekalipun memang Allah yang menciptakan segala sesuatu, namun bagi hamba harus menutupinya sebagai bentuk adab atau etika bertauhid, sebagaimana pula dalam filsafat jawa juga menjelaskan mikul duwur mendem jero, sebuah kalimat yang mencerminkan adab rakyat kepada rajanya. Dan banyak pula dalil-dalil di dalam Al Quran maupun Hadis yang menjelaskan tentang etika bertauhid. Syekh Abdul Wahab as Sya’rani qs. Pernah berdialog dengan Syekhnya Sayyidi Ali al Khawash ra . “Apa sebenarnya yang disebut hakikat usaha menurut Imam Asy'ari ?" “Hakikat usaha adalah ta'aluq iradah mumkin, yaitu bergantungnya kehendak perbuatan yang baru, yang sebenarnya telah terjadi ketetapan finalnya pada takdir Ilahi. Karena itu, perbuatan yang baru tersebut bersifat mumkin pada makna, yaitu secara substansi perbuatan tersebut boleh terjadi atau tidak. Sebab bagaimanapun bentuk perbuatan pada dasarnya telah memiliki Keputusan final yang disebut takdir Ilahi," jawab Syekh Sayyidi Ali al-Khawash ra. Kemudian beliau menambahkan, “Setiap hamba wajib mengetahui bahwasanya semua perbuatan makhluk sama sekali tidak memberi pengaruh apapun, namun demikian tetap berlaku di dalamnya hukum.” Karena itu, banyak sekali orang yang belum paham dalam membedakan antara hukum dan atsar . Yang dimaksud hukum di sini ialah bentuk ekosistem yang terjadi pada alam semesta dan atsar itu dampak dari ekosistem tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, Sayyidi Ali al Khawash ra. berpendapat, “Bagi Allah memiliki otoritas mutlak dalam perbuatan, apabila Ia menghendaki terjadinya sebuah gerakan (harakat) atau makna pada sebuah perbuatan, maka gerakan tersebut hanya sebuah kamuflase, karena mustahil perbuatan tersebut berdiri sendiri. Karena itu, tidak mungkin suatu perbuatan dapat eksis dengan sendirinya tanpa keterlibatan Allah di dalamnya. Maka dalam perspektif hukum perbuatan tersebut tetap disandarkan kepada hamba sekalipun secara faktual hamba tidak memiliki pengaruh (atsar) sama sekali di dalamnya." Oleh karena itu, pahamilah masalah ini dengan lebih serius karena sangat halus agar benar-benar mendapat kenyataannya. Dialog Dengan Tuhan Syekh Abdul Wahab as-Sya’rani qs. menambahkan, "Telah aku dengar saudaraku Afdhaluddin rahimahullahu ta’ala berkata, “Bagi mumkin (sesuatu yang boleh jadi adanya atau tidak) sama sekali tidak memiliki kuasa (qudrat) melainkan hanya menerima atsar Ilahi. Karena qudrat itu merupakan sifat Ketuhanan, yaitu keadaan Yang Kuasa. Maka menetapkan qudrat bagi mumkin merupakan pendapat yang tidak memiliki argumentasi yang kuat atau dakwah tak berdalil.”

Syekh Afdhaluddin rahimahullah menambahkan, “Pendapat saya ini sesuai dengan prinsip Asyairah yang menetapkan qudrat hamba serta meniadakan perbuatan daripadanya.”
Syekh Abdul Wahab as-Sya’rani qs. telah menukil pendapat Syekh Mukhyidin ra. dalam kitab Futuhatul Makkiyyah : “Bahwasanya menetapkan qudrat bagi perbuatan hamba dengan meniadakan subyeknya (fail) merupakan suatu hal yang sulit, karena sangat terkait antara fail dan fiil (perbuatan yang dilakukan)." Dalam hal ini Ibn Araby mengalami kebingungan epistemologi, namun akhirnya mendapatkan jawaban setelah lama
tafakur. Kemudian Syekh Muhyidin ra berkata: “Selama ini, Allah belum membukakan pemahaman kepadaku dengan menghilangkan kesamaran pada masalah ini, yakni fi'il (perbuatan) yang sebenarnya bukan fa'il (subyek).

Pada suatu malam, ketika aku sedang menulis surat pada tahun 633 Hijriah, aku merasakan kesulitan untuk menguraikan antara usaha menurut kaum Ahlis sunnah dan khalq (penciptaan) menurut kaum Mu’tazilah. Namun akhirnya, Allah memberikan taufik kepadaku dengan membukakan penglihatanku atas awal mula kejadian makhluk, ternyata pada ketika itu semua makhluk belum ada, melainkan hanya Allah. Maka firman Allah Ta’ala di dalam sirku, “Lihatlah awal mula kejadian makhluk, masihkah yang demikian itu membuat dirimu samar dan bingung?" Maka jawabku, ”Tidak, ya Rabbi.” Kemudian Allah berfirman kepadaku, “Demikianlah, bahwa semua yang engkau lihat terhadap sesuatu yang baru, sebenarnya tiada seorang pun yang memberi bekas dan tidak ada pula keterlibatan makhluk di dalamnya, maka Akulah Tuhan yang menjadikan segala sesuatu tanpa dengan asbab, sebagaimana kutiupkan ruh pada ’Isa, dan Aku jadikan takwin thair (proses kejadian burung)." Maka jawabku, “Ya Rabbi, apabila demikian adanya, berarti tiap-tiap sesuatu adalah diri-Mu yang Engkau khitab dengan firman-Mu, “Perbuatlah! dan jangan engkau perbuat." Maka firman-Nya bagiku,

“Apabila Aku telah memperlihatkan kepadamu sesuatu dari ilmu-Ku, maka wajib bagimu adab, karena bahwasanya setiap peristiwa yang terjadi seolah-olah tidak melibatkan Aku padahal sebenarnya kamu tidak memiliki peran sama sekali."

Pada akhirnya, Ibn Arabi mendapat jawaban untuk memisahkan antara fi'il dan fail. Ternyata Allah yang paling awal dan yang paling akhir sehingga Allah-lah yang menggerakkan semua perbuatan makhluk sedangkan makhluk sendiri tidak mempunyai peran sama sekali. Kendatipun demikian, wajib bagi hamba menutupinya sebagai adab seorang hamba mengagungkan Tuhannya. Maksudnya, jangan kemudian berpikir tentang maksud Allah menciptakan ini dan itu dengan asumsi dirinya sebagai hamba yang diwarnai nafsu. 

“Jangan ditanya akan barang yang Aku perbuat dan sekalian kamu itu yang ditanya.”
(Al Anbiya: 23).

Pada masalah ini, perlu renungan yang serius karena sesungguhnya ilmu ini sangat indah. Untuk merasakan dan menikmati keindahan tersebut, seorang salikin harus mempraktekkan musyahadah secara istiqamah (terus menerus) hingga menemukan kebenaran dan hakikat rasa pada rasa-Nya. Tingkatan Tauhid Maqam Tauhidul Af’al ini merupakan maqam permulaan atau paling bawah di antara maqam Arifin. Maqam Tauhidul Af’al juga merupakan salah satu martabat dari beberapa martabat yang menjadi tangga seorang salik sampai kepada Allah. Jalan yang harus ditempuh ialah empat martabat, tauhidul af'al, tauhidul asma, tauhidush sifat dan tauhiduz zat.

Maqam Tauhidul Af'al ini yang pertama kali dianugerahkan oleh Allah kepada salikin atau kepada orang yang
majdub. Adapun pengertian majdub adalah orang yang diambil oleh Allah secara langsung sehingga mengenal zat, sifat, asma dan af’al-Nya, tanpa mengerjakan riyadhah mujahadah, talqin dan tanpa melalui ijazah seorang mursyid. Namun hal ini sangat langka terjadi, artinya jarang sekali kejadiannya pada diri seseorang. Sampai pada salah satu maqam tersebut merupakan puncak perjalanan seorang salik yang mendapatkan natiijatus suluk atau sebagai hasil yang diharapkan setiap orang yang menuju kepada Allah. Sedangkan arti salik yaitu orang yang bersungguh-sungguh dalam melakukan riyadhah mujahadah dengan mendapatkan kaifiyat ijazah dari Syekhnya tanpa cacat dalam mengerjakannya serta tidak menyalahi apa yang telah diperintahkan. Sedangkan arti Arif yaitu orang yang mengenal Allah dan mengenal hamba dan dapat membedakan antara porsi kemakhlukan dan ketuhanan serta mampu musyahadah di dalamnya.

Memandang Wujud-Nya Di Setiap Kejadian
Hidup adalah perjalanan makhluk, tak ubahnya seperti air hujan yang turun dari langit, membasahi bumi dan mengalir dari hulu sampai ke hilir (laut). Air tak punya pilihan untuk menolak apapun yang mengikuti, seperti harus membawa kotoran dan mengusung sampah-sampah dalam perjalanan menuju laut. Dalam mengarungi samudera kehidupan di dunia, makhluk yang bernama manusia senantiasa dihadapkan pada berbagai persoalan yang membelit jiwa dan menyayat hati. Persoalan itu datang silih berganti dari segala arah. Ada yang datang dari arah lahir dan ada pula dari arah batin (dari dalam diri ).

 " Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) " (Al-Anbiyaa': 35).
Setiap peristiwa yang menghampiri hidup seseorang, tentunya tidak lepas dari skenario hidup yang telah ditulis Allah. Karena pada hakikatnya, tak ada satupun makhluk yang dapat merubah dan memanipulasi buku skenario yang terletak di lauhul mahfuzh (kitab induk). Rangkaian cerita yang ditulis Allah dalam lembaran-lembaran buku skenario itu, sudah pasti memuat seluruh kejadian awal hingga akhir perjalanan kehidupan alam semesta, termasuk di dalamnya catatan detil tentang kehidupan manusia.
"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Kitab (induk), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan"(Al An'aam: 38).
Hakikat Perbuatan
Pergulatan batin manusia dalam menghadapi berbagai persoalan, hakikatnya sesuai dengan alur cerita yang tertulis di buku skenario hidupnya. Tak ada satu pun peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Gerakan sekecil apapun, adalah atas kehendak Allah. 

"Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan"(Al Hadiid: 4).
Tak ada seorang pun yang dapat menghindar dari berbagai malapetaka lahir maupun batin, melainkan Allah  telah menetapkan sesuai dengan yang tertulis di skenario kitab Allah. "Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah " (Al Hadiid: 22).
Jika orang yang berjalan menuju Allah (salik) tidak melihat dan memaknai kehidupan sesuai dengan alur kehendak Allah, maka tidak menutup kemungkinan terjadi malapetaka yang dapat menjerumuskan ke dalam jurang kenistaan lahir dan batin, seperti akidah yang syirik dan amal perbuatan yang jauh dari ikhlas. Jalan untuk meraih keselamatan dunia akhirat adalah dengan memegang erat akidah tauhid dan syuhud (penyaksian) terhadap semua kejadian yang berlaku di alam semesta. Rangkaian kejadian dan perbuatan yang terbit pada mahluk, wajib dikembalikan kepada Allah, karena Dia-lah yang menjadi sumber semua kejadian, termasuk perbuatan yang mengalir pada diri manusia. Perbuatan dimaksud, tidak sebatas pada perbuatan baik, tetapi lebih luas lagi pada perbuatan yang tampak tidak baik.

"Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar" (Al Anfaal: 17).

Jika sudah memahami perbuatan baik itu hakikatnya baik, berarti harus pula mampu memaknai perbuatan yang tampak tidak baik, seperti perbuatan kufur dan maksiat, pada hakikatnya juga baik. Karena hakikat semua perbuatan itu bersumber dari Yang Baik, yaitu Allah. " Katakanlah:
"Semuanya (datang) dari sisi Allah" (An Nisaa': 78).

Namun setelah Syara' (hukum) datang, setiap perbuatan yang terlihat tidak baik itu, kemudian dianggap sebagai perbuatan tercela, dalam arti dilarang oleh syari'at. Ini karena menegakkan perintah Allah dan
menjalankan sunnah Rasul (Syari'at Islam). "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi"(An Nisaa': 70).
Kaifiat syuhud
Tata cara (kaifiat) memandang setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta ialah dengan pandangan dan syuhud (penyaksian). Memandang bisa dilakukan dengan pandangan mata kepala, adapun syuhud dapat dilakukan dengan mata hati. Jika pandangan dan syuhud telah mewarnai semua aspek kehidupan, maka terciptalah suatu keyakinan tauhid, bahwa segala perbuatan itu bersumber dari Allah. Untuk menempuh keyakinan terkadang harus melalui proses berbagai metafor yang bersifat ma jazi dan kinayah, bukan pada kejadian yang sesungguhnya (haqiqi). Sebagai misal dalam memahami perbuatan yang muncul dari makhluk dan dikembalikan pada Allah, harus dibuat kiasan-kiasan yang dapat mendekatkan pemahaman secara ilmiah, seperti wayang dengan dalang dan lain sebagainya. Perumpamaan perbuatan makhluk yang disamakan dengan perbuatan khalik, hanya bersifat kiasan belaka. Karena penyamaan itu bukan dalam pengertian yang sesungguhnya, sebab semua perbuatan yang dilakukan oleh makhluk pada hakikatnya bersumber dari Allah, baik perbuatan itu bersifat langsung (mubasyarah) maupun tidak langsung (tawallud). Yang dimaksud dengan mubasyarah (baca: mubasyaroh) ialah perbuatan yang dilakukan dengan kekuasaan yang ada pada makhluk, semisal gerak pena di tangan orang yang menulis. Sedangkan pengertian tawallud ialah terjadinya perbuatan itu akibat dari perbuatan yang dilakukan secara langsung (mubasyarah), seperti jatuh batu dari tangan orang yang melempar. Kedua macam perbuatan ini bersumber dari Allah.

"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat itu"(Ash Shaaffaat: 96).
Dalam perumpamaan pena dan batu bisa di artikan: Pena pada dasarnya tidak mempunyai kekuasaan apapun, termasuk gerakan membuat titik, huruf, kalimat hingga alur cerita yang terangkai di setiap alinea dan paragraf. Pena hanya sekedar pena yang menjadi benda mati. Pena bisa bergerak mengukir cerita karena digerakan oleh yang memegang pena. Begitu pula dalam misal batu, perumpamaan ini dapat dipahami bahwa hakikat batu itu tidak dapat melakukan apapun, terlebih mampu memecahkan benda yang terbentur olehnya. Batu hanya sekedar batu yang tidak dapat membawa dirinya untuk pindah dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Batu bisa pindah dan membentur benda lain, karena digerakkan oleh yang melempar. Jika batu membentur kaca sampai pecah misalnya, maka pada hakikatnya yang memecahkan kaca itu orang yang melempar. Secara hukum yang bertanggungjawab orang yang melempar batu, bukan batu itu sendiri. Bila mampu memahami perumpamaan pena dan batu, maka tidak akan terlalu sulit untuk memaknai semua kejadian itu pada hakikatnya dari Allah. Inilah kandungan makna lafaz yang biasa diucapkan tatkala mendengar seruan kumandang azan Hayya 'alas shalaah, Hayya 'alal falaah dijawab: Laa hawlaa walaa quwwata illaa billaahil 'aliyyil 'azhiim "Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan daya dan upaya Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung".
Dengan demikian, tidak ada satu pun perbuatan (dengan segala akibatnya) yang dilakukan oleh makhluk, melainkan sudah diputuskan dalam catatan skenario ilmu Allah yang sudah menjadi takdir perjalanan alam semesta. Menurut Syekh Muhammad Ibn Sulaiman Al-Jazuli rahimahullah (semoga Allah merahmatinya) di dalam Syarah Dala-il Al-Khairat (baca: Dalailul khoirot).
"Baik perkataan maupun perbuatan, termasuk gerak dan diam yang muncul dari makhluk, pada hakikatnya sudah berada dalam 'ilmu, qadha dan qadar-Nya". Sebagaimana pula diperkuat dalam hadis yang menjelaskan "Tidak ada yang dapat bergerak di alam semesta ini, walau sebesar dzirrah (atom) sekalipun, kecuali dengan izin Allah". Akhirnya tak ada yang harus diragukan dalam menyikapi semua perbuatan yang beraneka ragam muncul dari makhluk di alam semesta, kecuali harus dikembalikan pada yang punya perbuatan, yaitu Allah. Karena hanya Dia, Dzat yang menciptakan makhluk. Semua makhluk tunduk dan patuh pada perintah dan kehendak-Nya.

"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam" 
(Al A'raaf: 54).
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi seorang makhluk untuk mengingkari keberadaan Allah Dzat tempat bergantung semua makhluk, sesuai dengan fitrahnya. 

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (Ar Ruum: 30).