Makna Haji

Hakikat haji adalah perjalanan ruhani seorang hamba menuju Allah. Ia bermakna keharusan
bagi setiap manusia yang ingin kembali kepada Tuhan dalam keadaan suci hingga berakhir
dengan perjumpaan dengan Tuhan.

MENGAPA harus berhaji? Inilah pertanyaan, yang barangkali jawabannya sama sulit ketika
ditanya apa pentingnya haji. Tak lalu tidak ada jawaban. “Duduk perkara” tentang haji,
setidaknya bisa dijelaskan lewat beberapa pendekatan, seperti bahasa, syariat, dan hakikat.
Berasal dari kata hajja, yahujju, dan hajjan, secara etimologi sinonim haji adalah bergegas
menuju Allah. Ia adalah al qasdu, yang berarti
menuju atau pergi ke suatu tempat. Titik awal dari jalan ilahiah untuk kembali kepada Allah, Zat
paling suci dan satu-satunya. Manusia tak akan sampai pada Zat yang mahasuci, kalau baju
hatinya masih dipenuhi sampah syirik, jiwanya dipenuhi kotoran hawa nafsu. Haji, karena itu
proses penyucian diri sebelum menuju Allah.
Bentuk lain dari "hajjan" adalah hijjan, hajjatan, hijjatan. Ada beberapa contoh dalam Al Quran
maupun al Hadits tentang penggunaan kata
hajjan, hijjan, hajjatan.

Ada juga kata "hijjatan". Namun ini kata sangat gharib atau jarang sekali digunakan dalam
literatur-literatur Arab, kendati tercantum dalam kamus al Ashri.
Menurut syara' haji adalah pergi menuju Baitullah, rumah Allah untuk menunaikan rangkaian
ritual sesuai ketentuan syariat yang ditetapkan. Haji atau nusuk karena itu
wajib dilaksanakan setiap orang Islam sesuai rukun Islam. Dalam hadis dijelaskan:

"Islam didirikan atas lima hal; Penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
sebagai utusan Allah, melaksanakan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah dan puasa
Ramadhan." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).

Hakikat Haji
Tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menunaikan kewajiban haji. Al Quran
menjelaskan:

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah" (Ali 'Imran: 97).

Kalimat “sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” tidak bertafsir tunggal. Ia bisa
bermakna sehat secara jasmani karena akan menempuh perjalanan jarak jauh; mampu
membayar seluruh biaya perjalanan haji tanpa meninggalkan hutang; kondisi keamanan negara
dalam keadaan stabil dan kondusif; serta keluarga yang ditinggalkan tercukupi semua
kebutuhannya. Apabila semua syarat telah dipenuhi oleh seorang muslim, namun ibadah haji
tak juga ditunaikan, maka ia meninggal dalam keadaan yahudi dengan kondisi su-ul khatimah,
sebuah akhir yang buruk.
Haji menurut hakikat adalah perjalanan ruhani seorang hamba menuju Allah. Ia bermakna
keharusan bagi setiap manusia yang ingin kembali kepada Tuhan dalam keadaan suci hingga
berakhir dengan perjumpaan dengan Tuhan. Haji hakikat dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa
harus memenuhi persyaratan dan prosedur sebagaimana haji syariat. Tak juga harus pergi ke
Mekkah untuk melakukan ritual simbolik seperti yang dilakukan kaum muslim setiap tahun pada
bulan Dzulhijjah. Bagi ahli hakikat, prosesi ritual haji seperti tawaf, sai, wukuf dan sebagainya
telah menjadi bagian perjalanan hidup sehari-hari dari waktu ke waktu.
Pengertian "rumah Allah" bagi ahli hakikat, juga bukan sebatas Ka'bah yang berwujud
bangunan fisik, namun hati yang ada pada diri setiap manusia. Ka'bah hanyalah bangunan
yang terletak di tengah Mesjid Haram dan rumah tua peninggalan para nabi terdahulu yang
lantas menjadi simbol penisbahan rumah Allah. Jangan sekali-kali mencari Allah di dalam
Ka'bah karena niscaya tak akan pernah ditemukan Allah di sana. Ka’bah dan dimensi di
dalamnya hanyalah ruang kosong.
Ka'bah, bagi ahli hakikat karena itu bukan menjadi tujuan utama melainkan sebagai simbol
keesaan tujuan dalam mencari kebenaran yang hakiki. Menjadikan Ka'bah sebagai tujuan
menyembah atau satu-satunya tujuan berhaji, akan menyebabkan syirik karena Ka'bah di
setarakan dengan Tuhan.

Dari Ibrahim ke Hudaibiyah
Haji secara filosofis adalah evolusi manusia mencari hakikat kemanusiaan. Sebuah perjalanan
“pulang kampung” dari seorang hamba menuju “rumah” keabadian dan keesaan setelah
berkelana di “rumah” duniawi yang penuh tipu daya dan “rumah” hawa nafsu yang gelap gulita.
Secara syariat, mula haji dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. pada sekitar 2000 tahun SM. Ketika
itu, Ibrahim dan Ismail as. putranya, diperintahkan membangun Ka'bah, yang sekarang menjadi
bangunan sentral utama ibadah haji dan kiblat umat Islam seluruh dunia. Perjalanan Siti Hajar
yang pulang-pergi dari Shafa ke Marwah mencari air, akhirnya menjadi salah satu rukun haji
yang disebut sai. Sedangkan bekas injakan kaki Ismail yang mengeluarkan air menjadi sumber
mata air yang memiliki kandungan mineral yang tinggi disebut sumur zam zam.
Pengorbanan Ismail yang ikhlas menaati perintah Allah dengan bersedia dibunuh oleh Ibrahim,
sang bapak, akhirnya menjadi syariat Nabi Muhammad Saw. dengan sejumlah
penyempurnaan, tentu. Apa yang dilakukan Ibrahim dan keluarganya lalu menjadi ibadah haji
seperti yang kita jumpai sekarang pada tiap 10 Dzulhijjah, sekalipun hukumnya sunah muakad.
Haji yang dilakukan nabi Saw. kali pertama terjadi, setelah kesepakatan damai antara kaum
muslimin dengan kafir Quraisy yang tertuang dalam perjanjian Hudaibiyah, setelah kaum
muslimin meninggalkan Mekkah setelah tujuh tahun. Itu terjadi pada 629 Masehi.
Dalam perjanjian itu, kaum muslimin diperbolehkan pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ritual
di sekitar Ka'bah dengan mendapatkan jaminan keamanan. Karena sudah rindu melihat
Ka’bah, Nabi tak menyia-siakan kesempatan tersebut, dan lalu mengajak seluruh muslimin dari
kaum muhajirin dan anshar untuk melaksanakan ritual bersama. Ketika melihat Ka'bah itulah,
kaum muhajirin dan anshar lalu serentak mengucapkan talbiyah "labaik, Allahumma labaik…",
kemudian mereka memakai baju ihram, melakukan tawaf di Ka'bah, mencium hajar aswad,
melaksanakan sai antara shafa dan marwa, memotong rambut dan sebagainya. Karena ritual
tersebut dilakukan tidak pada bulan haji maka disebut umrah.
Peristiwa haji kedua terjadi setelah selesai perang Tabuk (sekitar 631). Itulah perang dan
ekspedisi terakhir di zaman Nabi setelah mendapatkan kemenangan di semua wilayah. Nabi
ketika itu menyuruh Abu Bakar ra. memimpin perjalanan haji bersama kaum muslimin,
kemudian Ali Karamallahu Wajhah menyusul untuk membacakan pesan Nabi dalam khotbah
haji di Arafah.
Haji terakhir zaman Nabi dikenal sebagai haji wadaa'. Terjadi pada 632, haji ini diikuti 114 ribu
kaum muslimin dan menjadi haji perpisahan dari Nabi karena pada tahun itulah Nabi meninggal
dunia.
Dengan memahami makna dan hakikat haji, mudah-mudahan kita memperoleh haji mabrur
secara subtantif.

Tidak ada komentar: